Pengertian Saddu Zara'i
PENGERTIAN SADDU DZARI’AH
1.pengertian saddu dzari’ah
1.
Secara
Etimologi
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan
adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara
etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ)merupakan
kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ
سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang
cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk
tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya
sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة)
adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع).
Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi
Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd
adz-dzara’i.
Saddu Dzara’i berasal dari kata sadd
dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat, sedangkan zara’i artinya
pengantara
Dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu.” Ada juga yang
mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada
yang dilarang dan mengandung kemudaratan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah
(ahli fiqh) mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari’ah kepada
sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari’ah yang bertujuan
kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzari’ah
lebih baik dikemukakan yang bersifat umum , sehingga dzari’ah itu
mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzariah) dan
yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan
untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh
sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu
berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika
unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan
panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian
digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada
sesuatu yang lain.
2.
Secara
terminologi
Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi
menyatakan bahwa Dzari’ah itu ada kalanya dilarang yang disebut Saddus
Dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath
ad-dzari’ah. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat
jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Al-Juhaili berbeda pendapat dengan
Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan kegiatan tersebut tidak
termasuk kedalam dzari’ah tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan)
dari suatu perbuatan.
Menurut al-Qarafi, sadd
adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara
untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur
kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau
sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah
perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah
adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan
mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dari beberapa contoh pengertian di
atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani
mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan.
Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum
dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping
itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada
awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut
akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas,
bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan
atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang
untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah
merupakan washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal
ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram
hukumnyapun haram, jalan / cara yang menyampaiakan kepada yang halal
hukumnyapun halal serta jalan / cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang
wajib maka hukumnyapun wajib.
Contohnya:
- Zina hukumnya haram,
maka melibat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan zina juga
merupakan haram
- shalat jum,at merupakan
kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at
wajib pula hukumnya.
Dari berbagai pandangan di atas,
bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan
larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk
mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
2.
Dasar
hukum saddu dzari’ah
1) Al
qur’an
Surah Al-An’am ayat : 108
Artinya “Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.Demikianlah kami jadikan
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.(QS. Al an’am: 108)”.
Pada ayat di atas, mencaci maki
tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan
adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki
Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang
Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh
orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi,
maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd
adz-dzari’ah). Seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 104.
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi
Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih.(QS. Al baqoroh: 104)
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di
atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan
karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa
‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah
kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini
terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan
menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا)sebagai bentuk isim fail dari masdar
kata ru’unah(رُعُوْنَة)yang
berarti bodoh atau tolol.Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi
SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna
yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman
demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd
adz-dzari’ah.
2). As sunnah
1)
Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah terjadinya
keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang menerima hadiah
dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
2)
Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan waris
kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam keadaan sakit
kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri
dari mendapatkan warisan
عَنْعَبْدِاللَّهِبْنِعَمْرٍورَضِيَاللهُعَنْهُمَاقَالَقَالَرَسُولُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِنَّمِنْأَكْبَرِالْكَبَائِرِأَنْيَلْعَنَالرَّجُلُوَالِدَيْهِقِيلَيَارَسُولَاللهِوَكَيْفَيَلْعَنُالرَّجُلُوَالِدَيْهِقَالَيَسُبُّالرَّجُلُأَبَاالرَّجُلِفَيَسُبُّأَبَاهُوَيَسُبُّأُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia
berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya
seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut
1.
Kedudukan sebagai sumber hukum
Kedudukan Saddu Dzari’ah
Tidak semua ulama sepakat
dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam menetapkan hukum.
Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya;
3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab
Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan
ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain,
kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada
kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-lafzh). Sementara sadd
al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang
masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat.
Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah
semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nashsecara
langsung.
Masalah ini menjadi perhatian para
ulama’ karena banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah itu,
umpamanya:
1.Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya:
Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan
memushi tanpa pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina
penyembah selain Allah itu boleh-boleh saja, bahkan jika perlu boleh
memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan
penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah, maka perbuatan mencaci dan
menghinanya menjadi dilarang.
2.Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah
perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang
tersembunyi didalamnya.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu
bagi perempuan boleh saja, tapi kaena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi
doketahui orang sehingga menimbulkan angsangan bagi yang mendengarnya, maka
menghentakkan kaki bagi perempuan itu menjadi terlarang.
Dari dua contoh ayat diatas terlihat
adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang,
meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.
Dari ayat yang sudah dibahas diatas
juga dapat diketahui bahwa Saddus Zari,ah mempunyai dasar dari al-Qur,an,
sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah dari sunnah adalah:
- Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
- Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
- Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari bergabung bersama musuh.
- Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa mengakibatkan kesulitan manusia.
Nabi melarang fakir miskin dari bani
hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi
memperkaya diri dan keluarganya dari zakat
1.Objek Saddu Al-Dzari’ah
Pada dasranya yang menjadi objek
dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi
menjadi empat, yaitu :
1) Perbuatan yang
akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur di belakang
pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh
kedalamnya.
2) Perbuatan yang jarang
berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak menimbulkan
bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat
khamar adalah nadir (jarang terjadi)
3) Perbuatan yang
menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula
dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat
disamakan dengan yakin karena menutup pintu (saddu dzari’ah) adalah
wajib mengambil ihtiat (berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat
mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati
ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah, menjual anggur
untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
4) Perbuatan yang lebih
banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya
kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan.
Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama,
apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad
menetapkan haram.
1.Pengelompokan Saddu Dzari’ah
Dzari’ah dapat dikelompokkan dengan
melihat beberapa segi:
1)
Dari segi akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu Qayyim membagi dzari’ah
menjadi 4 yaitu:
- Dzari’ah yang pada dasarnya
membawa kepada kerusakan. Contohnya, minuman yang memabukkan akan merusak akal
dan perbuatan zina akan merusak keturunan.
- Dzari’ah yang ditentukan
untuk sesuatu yang mubah (boleh), namun ditujukan untuk pebuatan buruk yang
merusak baik yang disengaja seperti nikah muhallil, atau tidak disengaja
seperti mencaci sesembahan agama lain.
- Dzari’ah yang semula ditentukan mubah, tidak
ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan dan
kerusakan itu lebih besar daripada kebaikannya. Seperti berhiasnya seorang
istri yang baru ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan dia dalam masa iddah
- Dzari’ah yang semula
ditentukan mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan tetapi kerusakannya
lebih kecil daripada kebaikannya. Contoh dalam hal ini adalah melihat wajah
perempuan saat dipinang.
2) Dari segi tingkat kerusakan yang
ditimbulkannya, Abu Ishak al-Syatibi membagi dzari’ah menjadi 4 macam:
- Dzari’ah yang membawa
kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali lobang ditanah sendiri yang
lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu gelap.
- Dzari’ah yang kemungkinan
besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya menjual anggur kepada pabrik minuman
dan menjual pisau tajam kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya.
- Perbuatan yang boleh
dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
- Perbuatan yang pada dasarnya
mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada
kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam jual-beli
yang dilakukan untuk mengelak dari riba, umpama si A menjual arloji kepada si B
dengan harga rp 1.000.000 dengan hutang, dan ketika itu arloji tersebut dibeli
lagi oleh si A dengan harga rp 800.000 tunai, si B mengantongi uang p 800.000
tetapi nanti pada waktu yang sudah ditentukan si B harus membayar rp 1000.000
pada si A. Jual beli seperti ini dikenal dengan bai’ al-ainah atau bai’ul
ajal.
1..Contoh saddu Al-Dzari’ah
Melarang perbuatan/permainan judi
tanpa uang. Melarang orang minum seteguk minuman keras, padahal seteguk itu
tidak memabukkan. Melihat aurat perempuan itu dilarang, untuk menyumbat jalan
terjadinya perzinaan. Larangan semacam ini untuk menutup jalan agar jangan
sampai muncul/bertambahnya penjudi, pemabuk, dan pezina.
Komentar
Posting Komentar